SAYA ditagih: Mana itu Kiat tentang bagaimana mengupayakan agar
‘staf yang telah dibiayai untuk melanjutkan pendidikan tidak dibajak atau
membiarkan dirinya dibajak oleh perusahaan lain?
Terus terang saja, saya memang sedang kekurangan bahan ketika itu. Utung
saja, datang Harvard Business Review. Dan karena saya adalah pembaca iklan
yang baik, maka terbacalah judul ini: Some of the best IBM people are
leaving the company. Wah, ini! Ternyata, meninggalkan tidak selalu berarti
keluar. Mereka, 600 orang staf IBM, justru “disuruh” meninggalkan kantor selama
setahun untuk mengajar di perguruan tinggi. Gaji mereka tetap dibayar
sepenuhnya oleh IBM. Apa maksud semua ini? Iklan itu tidak memberi jawabnya, kecuali
menyebutkan bahwa itu adalah bagian dari tanggung jawab sosial sebuah
perusahaan besar.
Menurut saya, itu adalah sebuah cara untuk memberi kesempatan para staf
untuk memperoleh antidote terhadap pekerjaan rutin yang mungkin telah
membuatnya jenuh. Sekaligus mengisi “batere” untuk dipakai lagi dalam situasi
kerja yang sangat kompetitif. Seorang yang mengajar tentu hanya bisa
melakukannya dengan kompeten kalau ia pun sudah mengerjakan pekerjaan rumahnya.
Ini adalah cara baik untuk “memaksa” seorang mengambil cuti sabbatical yang
sangat diperlukan terutama oleh manajer yang sudah terlalu lama berdinas. Yang
juga penting dicatat adalah bahwa menjadi pengajar di perguruan tinggi
merupakan pekerjaan terhormat yang diingini banyak orang.
Siapa tahu, barangkali itulah kiat IBM mempertahankan orang-orang terbaiknya.
Apakah perusahaan tidak akan kacau ditinggalkan para senior yang pergi
mengajar. Di sinilah excellence di bidang manajemen membuktikan
eksistensinya. Manajemen yang baik tidaklah bergantung pada seseorang, tetapi
bergantung pada sistem.
Pada sebuah seminar bisnis yang diselenggarakan Tempo minggu lalu, B.M.
Diah pun mengutarakan kerisauan yang serupa. “Saya telah mendidik begitu banyak
wartawan. Tetapi, begitu mereka merasa sudah pintar, mereka lalu meninggalkan
saya. Mengapa?”
Ya, mengapa? Kita semua pun bertanya. Kita selalu menginginkan staf yang
terampil dan mumpuni. Kita sulit mendapatkannya di pasaran tenaga kerja.
Lalu, dengan penuh kesabaran dan banyak biaya kita melatih mengembangkan
seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya secara kompeten. Ia ternyata
responsif dan dapat menyerap keterampilan baru yang diajarkan. Ia kemudian
menjadi seorang staf yang kompeten. Namanya pun mulai disebut-sebut dalam bursa
manajer. Tawaran demi tawaran akan dialamatkan kepadanya sampai pada suatu
ketika ia toh tergoda untuk tidak menampik sebuah tawaran yang terlalu bagus.
Lalu ia pun lupa kepada “sekolah”-nya dan pergi merumput ke padang yang lebih
hijau.
Bagaintana ini dapat dicegah? Akan banyak jawaban terhadap pertanyaan ini.
Jawaban yang tampaknya cocok untuk kondisi A belum tentu cocok untuk kondisi B.
Karena itu, “resep-resep” di bawah ini jangan terlalu diandalkan. Rules are obedience for the
fools, and guidance for the wise.
Pengatasan yang klasik adalah dengan menandatangani perjanjian. Seorang
yang dikirim perusahaan untuk belajar selama setahun tanggungan perusahaan harus
menandatangani perjanjian untuk tidak mengundurkan diri dalam waktu dua tahun
setelah ia kembali menjalani pendidikan itu.
Cara ini tentu saja mempunyai kelemahan. Pertama, karyawan yang menerima
fasilitas itu merasa bahwa dirinya tidak sepenuhnya dipercaya Kedua, setelah
masa perjanjian itu usai, ia merasa berhak dan sah untuk pergi.
Di Indonesia sudah makin banyak dilakukan promosi jabatan bagi staf yang
telah selesai mengikuti pendidikan tambahan. Ini pun hal yang Ia dilakukan di
negara-negara maju. Cara ini tidak saja dilakukan terhadap mereka yang baru
pulang dari pendidikan, tetapi juga untuk mengikat wanita yang potensial dan
baru saja menikah. Banyak wanita yang setelah menikah lalu memilih tinggal di
rumah. Kalau kepadanya diberikan tanggung jawab lebih besar, tentulah ia merasa
dirinya lebih dibutuhkan di kantor.
J. Sadiman, Direktur Institut Pendidikan Bisnis dan Pembinaan Manajenen punya
kiat sendiri. Pada saat ini saja ada 18 orang staf IPPM yang berada di luar
negeri untuk melengkapi pengetahuannya. Biayanya saja mencapai setengah milyar
rupiah setahun, belum termasuk gaji yang harus tetap dibayarkan.
Apa kiatnya? “Saya tidak pakai kontrak atau perjanjian. Saya hanya
mengisi mereka dari dalam. Saya katakan kepada mereka bahwa negara ini
membutuhkan orang-orang yang penuh pengabdian di bidang pendidikan dan
pembinaan manajemen. Selebihnya bergantung kepada Apakah kita bisa bicara untuk
meyakinkan mereka? Apakah kita menunjukkan bahwa kita meyakini hal itu? Apakah
kita mampu memberikan suasana kerja yang menyenangkan dan kebebasan berkreasi
kepada mereka? Tanpa itu semua, kita hanya menciptakan orang yang frustasi.”
0 comments:
Posting Komentar